
![]() |
“Merah Putih di Gedung DENIS” |
Bandung – Untuk menguak sejarah penuh patriotik yang terjadi di Gedung DENIS (sekarang menara bank bjb) di Jalan Braga, dua wartawan senior Enton Supriyatna Sind dari Harian Umum Pikiran Rakyat dan Efrie Christianto dari Harian Umum Galamedia, mencoba mewujudkannya dengan menulis buku berjudul “Merah Putih di Gedung DENIS” (Catatan Tercecer di Awal Kemerdekaan).
Bertepatan dengan peringatan peristiwa tetrikal perobekan bendera Belanda di Gedung DENIS, Sabtu malam (17/10/2015), Efrie Christianto mengatakan, pada masa awal kemerdekaan Indonesia, gedung DENIS juga menjadi saksi sejarah tentang sepak terjang para pejuang. Boleh dibilang, gedung tersebut telah menjadi tempat favorit bagi warga Bandung dalam upaya mempertahankan harga diri bangsa. Sejumlah peristiwa heroik –antara lain pengibaran bendera merah putih- telah terjadi di gedung ini dalam waktu yang berbeda-beda.
Menjelang peristiwa Bandung Lautan Api bulan Maret 1946, gedung DENIS pun menjadi tempat penting bagi para pejuang untuk berkumpul. Peristiwa tersebut mengakibatkan pemerintahan Provinsi Jawa Barat harus pindah ke tempat lain. Kedudukan Keresidenan Priangan dan Provinsi Jawa Barat mengungsi ke Garut. Wakil Residen Priangan Sanusi Hardjadinata menjadikan gedung DENIS sebagai titik keberangkatan menuju Desa Cinta, sekitar Gunung Talagabodas, Garut.
Bahkan berdasarkan sumber-sumber tertulis, sangat dimungkinkan pengibaran merah putih di menara gedung DENIS terjadi sekurangnya tiga kali. Perkiraan tersebut muncul, karena dari data itu terungkap adanya beberapa peristiwa dengan waktu dan pelaku yang berbeda. Meskipun sama-sama mengibarkan merah putih dalam keadaan genting, namun cara memperoleh benderanya pun berbeda.
Namun sayangnya, catatan detail mengenai peristiwa-peristiwa tersebut sulit untuk diperoleh. Sebagian masyarakat selama ini ini hanya mengetahuinya lewat cerita dari mulut ke mulut atau tulisan singkat yang dikutip di berbagai buku. Apa yang terjadi di gedung DENIS seolah tenggelam, dilingkupi peristiwa lebih besar yang melibatkan warga Bandung.
Endang Karmas dan Mulyono
Namun peristiwa yang melibatkan dua pemuda bernama Endang Karmas dan Muhamad Mulyono, tampaknya memberi gambaran lebih lengkap tentang peristiwa heorik lainnya di gedung DENIS. Pada suatu hari di sekitar bukan September-Oktober 1945, terjadi sebuah keributan akibat tindakan sejumlah orang Belanda yang mengibarkan bendera merah putih biru di puncak gedung tersebut. Hal itu tentu saja memancing reaksi panas dari masyarakat yang sedang berada dalam eforia kemerdekaan.
Salah seorang remaja bernama Endang Karmas yang berada di tempat itu, berinisiatif naik ke menara DENIS dengan tujuan menurunkan merah putih biru dan diganti dengan merah putih saja. Dia pun masuk ke gedung DENIS, naik terus sampai keluar di atap gedung. Ternyata di sana sudah ada orang lain juga, mereka menunjuk-nunjuk ke arah tiang bendera di atas menara. Endang dengan cepat memanjat menara, di sisi lain sudah ada Mulyono yang juga sedang menuju tiang bendera. Di puncak menara mereka berdiam.
Tidak ada lagi jalan naik. Hanya ada kabel besi yang sangat keras yang harus ditarik agar bendera bisa diraih. Berulang kali dicoba, namun gagal. Ketika sedang berusaha meraih bendera, terdengar suara-suara tembakan dan desingan peluru. Ternyata tentara Belanda memuntahkan anmunisi senapannya dari arah Homann ke arah menara.
Mereka panik dan hanya bisa merunduk. Di saat itu, bendera terkulai. Endang Karmas segera meraih ujungnya dan meminta Mulyono memegangnya. Dengan bayonet yang ada, Karmas mencabik-cabik bagian warna biru bendera itu. Sedapat mungkin merobeknya. Ternyata sulit dan tidak semua kain warna birunya benar-benar habis. Masih tersisa sedikit. Namun demikian, bendera merah putih dengan gagahnya berkibar di atas menara Gedung DENIS.
Keberhasilan keduanya melakukan tindakan herorik itu, tentu saja disambut teriakan “merdeka” berulang-ulang dari warga yang berada di sekitar gedung. Rasa ngeri karena terancam peluru tajam dari arah Hotel Homann sirna seketika, saat teriakan khas perjuangan bangsa Indonesia itu berkumandang. Tinggalah orang-orang Belanda yang tampak dongkol karenanya.
Jika melihat berbagai catatan seputar insiden Gedung DENIS, apa yang dilakukan Endang Karmas dan Mulyono adalah sebuah tindakan spontan. Bukan tindakan yang sudah direncanakan sebelumnya. Naluri mereka sebagai warga yang punya semangat perjuanganlah, yang menuntun langkah keduanya sampai ke puncak menara. Spontanitas yang didasari kesadaran untuk terbebas dari belenggu penjajahan.
Selain itu, secara factual peristiwa perobekan tersebut lebih dulu terjadi dibandingkan dengan peristiwa serupa di Hotel Oranje Surabaya tanggal 10 November 1945. Peristiwa heroik di Surabaya itu menjadi salah satu memicu terjadinya perang hebat, dengan Bung Tomo sebagai tokoh sentralnya. Buku-buku sejarah mencatatnya sebagai peperangan besar dan memakan banyak korban jiwa. Sedangkan peristiwa gedung DENIS diperkirakan terjadi pada bulan Oktober 1945.
Sejumlah sumber tertulis memang menyajikan keterangan tentang peristiwa pengibaran bendera di menara DENIS secara berbeda-beda. Baik pelaku dan waktu kejadiannya. Jika informasi-informasi yang sampai kepada kita itu benar adanya, maka tidaklah menjadikannya saling bertolak belakang. Justru saling melengkapi satu sama lain dan mengambarkan tentang dinamika yang terjadi di masa itu. Untuk mengibarkan bendera kebangsaan Indonesia saja, harus melalu perjuangann yang tidak mudah. Para pejuang harus bersiap dengan segala risiko terburuk yang bakal terjadi.
Dari sejumlah peristiwa tersebut, satu hal yang menarik adalah betapa gedung DENIS menjadi salah satu lokasi favorit bagi berbagai pihak yang berlawanan, untuk menunjukkan harga diri mereka. Pihak Jepang, Belanda dan Indonesia sama-sama ingin menguasai gedung tersebut dalam konteks untuk membela kehormatan masing-masing. Kibaran bendera di menara yang menjulang menjadi silmbol kemenangan.
Insiden tersebut mendorong pihak Sekutu membentuk Badan Penghubung yang berfungsi menjembatani komunikasi antara pihak pejuang dan Sekutu. Badan tersebut kemudian terbentuk pada tanggal 15 Oktober 1945. Indonesia diwakili Syamsurizal dan Male Wiranatakusumah. Sedangkan dari pihak Inggris diwakili Mayor Gray dan Clark.
Dalam perjalanannya, hubungan pihak Indonesia dengan Sekutu memburuk. Terutama setelah terjadinya pembelotan tentara Sekutu berkebangsaan India dan Pakistan. Pembelotan terjadi pada tanggal 23 November 1945. Ketika itu sekitar 19 orang tentara Inggris berasal dari India dan Pakistan bergabung dengan tentara republik, membawa serta persenjataanya. Juga dibawa serta dua buah truk.
Tentu saja pembelotan ini menambah energi para pejuang. Sementara itu Inggris berang dan mengultimatum agar tentara mereka diserahkan kembali. Sebuah permintaan yang mustahil dipenuhi. Tetapi para pejuang menjawab dengan mengadakan serangan. Aliran listrik di seluruh kota dipadamkan, di jalan-jalan dipasang barikade-barikade (Jr.)**